rakyatmardeka.com – Pontianak, Kalimantan Barat, Rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menghentikan Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menuai kritik dari kalangan pengamat kebijakan publik.
Dr. Herman Hofi Munawar menegaskan, sikap KPK tersebut justru berpotensi bertentangan dengan regulasi yang berlaku. Ia menyebut, keberadaan Pokir DPRD merupakan amanat langsung dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 29, 104, 108, dan 161. Aturan ini juga diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 serta Permendagri Nomor 86 Tahun 2017.
“Pokir DPRD bukanlah barang haram, melainkan perintah undang-undang. Jika dihapus, itu justru mengabaikan mekanisme demokratis yang sudah jelas diatur dalam regulasi,” tegas Herman di Pontianak, Sabtu (23/8/2025).
Apa Itu Pokir DPRD?
Pokir DPRD merupakan hasil penyerapan aspirasi masyarakat yang dilakukan anggota dewan melalui:
Reses, kunjungan ke daerah pemilihan untuk mendengar langsung keluhan warga.
Sosialisasi kegiatan, menyampaikan program sekaligus menjaring masukan publik.
Pertemuan resmi, dialog dengan kelompok masyarakat atau organisasi terkait isu pembangunan.
Aspirasi itu kemudian disusun menjadi dokumen Pokir yang bersifat strategis dan terintegrasi, sebelum menjadi bahan utama dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) serta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).
Herman menegaskan, keberadaan Pokir DPRD sangat krusial karena berfungsi sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah daerah.
“Pokir memastikan setiap program pembangunan benar-benar sesuai dengan kebutuhan riil warga serta sejalan dengan visi-misi daerah. Tanpa Pokir, pembangunan bisa melenceng dari aspirasi rakyat,” jelasnya.
Ia menambahkan, yang perlu ditekankan bukan penghapusan, melainkan pengawasan. “Pokir tidak boleh dipandang negatif. Yang harus dijaga adalah transparansi dan akuntabilitas agar pelaksanaannya sesuai aturan,” ujarnya.
Penulis: JN Aktivis98
Komentar