Rakyatmardeka.com – PONTIANAK -Kalbar *MPGI* Maraknya pemberitaan tentang dugaan penyimpangan dalam pengelolaan Dana Desa sering kali dipandang semata-mata sebagai tindakan korupsi. Namun, menurut Dr. Herman Hofi Munawar, Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, realita di lapangan menunjukkan bahwa banyak persoalan justru berakar pada faktor administrasi dan keterbatasan kapasitas aparatur desa, bukan niat jahat (mens rea) untuk memperkaya diri.
“Permasalahan ini disebabkan oleh kompleksitas regulasi, keterbatasan sumber daya manusia di tingkat desa, serta fungsi pengawasan dan pembinaan yang masih sangat lemah,” ujar Dr. Herman Hofi Munawar dalam keterangannya, Senin, 3 November 2025.
Menurutnya, sebagian besar kasus penyimpangan Dana Desa bermula dari kesalahan administratif. Banyak kepala desa maupun aparat desa tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang akuntansi, manajemen proyek, atau hukum. Hal itu membuat proses penyusunan hingga pelaporan keuangan desa sering tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah.
“Regulasi pengelolaan Dana Desa, mulai dari tahap perencanaan (APDes), pelaksanaan, hingga penatausahaan, memerlukan pemahaman yang komprehensif. Namun, aparatur desa sering kali minim pelatihan dan tidak terbiasa menyusun laporan pertanggungjawaban sesuai standar akuntansi pemerintah daerah,” jelasnya.
Kesalahan dalam pencatatan aset, pengadaan barang dan jasa, atau realisasi anggaran kerap dianggap sebagai bentuk penyimpangan keuangan, padahal bisa jadi hanya kesalahan teknis tanpa unsur kesengajaan. Akibatnya, banyak kepala desa yang terseret ke ranah hukum tanpa adanya bukti kuat adanya niat koruptif.
Dr. Herman menyoroti pula lemahnya peran Inspektorat Kabupaten/Kota sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Seharusnya, inspektorat berfungsi sebagai pendamping dan pembina bagi aparatur desa, bukan sekadar lembaga audit kepatuhan.
“Sayangnya, fungsi pembinaan Inspektorat tidak berjalan konsisten. Mereka lebih dominan melakukan audit kepatuhan, bukan audit kinerja atau asistensi yang bersifat edukatif,” tegasnya.
Ia juga mengungkapkan adanya keluhan dari aparatur desa yang merasa tak berdaya berinteraksi dengan inspektorat karena pendekatan yang menakut-nakuti, bukan membina. Akibatnya, mereka enggan berkonsultasi atau meminta pendampingan ketika menghadapi kendala administrasi.
“Kita sering mendengar keluhan aparatur desa yang bilang ‘ndak kuase nak berinteraksi dengan Inspektorat’, karena pendekatan yang cenderung represif. Padahal yang dibutuhkan itu pembinaan yang produktif,” tutur Dr. Herman.
Lebih jauh, Dr. Herman menilai bahwa ketidakindependenan Inspektorat memperparah persoalan tata kelola Dana Desa. Ia menyoroti adanya potensi intervensi politik dari kepala daerah (bupati) dalam proses pengawasan di tingkat desa.
“Inspektorat sering kali tidak independen. Jika bupati tidak senang pada kepala desa tertentu, misalnya karena tidak memberikan dukungan politik saat Pilkada, maka kepala desa tersebut bisa menjadi target pemeriksaan atau bahkan korban kriminalisasi dengan tuduhan korupsi,” ungkapnya.
Kondisi ini, lanjut Dr. Herman, menciptakan iklim ketakutan dan diskriminasi di kalangan aparatur desa. Alih-alih mendorong transparansi dan akuntabilitas, situasi semacam ini justru menurunkan semangat reformasi tata kelola pemerintahan desa.
Sebagai solusi, Dr. Herman menegaskan pentingnya penguatan kapasitas aparatur desa serta reformasi fungsi Inspektorat. Menurutnya, jika aparatur desa memahami tata kelola keuangan dan Inspektorat menjalankan perannya secara efektif dan independen, maka integritas pengelolaan Dana Desa akan meningkat secara signifikan.
“Sudah sangat urgen untuk memastikan aparatur desa mengerti tata kelola dan Inspektorat menjalankan fungsi pembinaan secara efektif. Dengan begitu, integritas pengelolaan Dana Desa dapat ditingkatkan dan kepercayaan publik terhadap pemerintah desa bisa pulih,” pungkasnya.
Red







Komentar